Mengembalikan Harga Diri Bahasa Indonesia
ILC - Berbekal bambu runcing di tangan, tanpa mengggunakan baju zirah, para pejuang Indonesia menyerang musuh dari berbagai sudut. Walaupun kalah dari senjata, kita tidak kalah otak. Dengan strategi gerilya yang diterapkan oleh Jendral Soedirman (yang kabarnya menginspirasi tentara Vietnam saat mengalahkan Amerika), para pejuang kebanggan Indonesia berhasil memukul mundur penjajah dan berhasil membuat Indonesia merdeka.
Demi mengusir penjajah yang telah menetap sampai generasi ke-5 di bumi pertiwi, para pejuang rela meninggalkan sanak dan keluarga di rumah. Pun meninggalkan hewan peliharaan atau ladang pertanian mereka demi merperjuangkan sebuah negara yang belum jadi dan belum terkonsep saat itu. Keinginan untuk merdeka adalah motivasi tertinggi mereka. “Merdeka atau mati,” ucap Bung Tomo kala itu.
Kalau saja saat itu sudah ada drone, mungkin sejarah yang tercipta sedikit berbeda. Karena alat tersbut bisa memantau posisi gerilyawan-gerilyawati kita. Bisa jadi, saat ini kita bukanlah warga Indonesia, melainkan pemilik KTP Belanda untuk Provinsi Indonesia. Sedikit mirip dengan orang Hawaii yang merupakan warga Amerika. Untunglah saat itu drone belum ada, jadi kita bisa menikmati kemerdekaan yang sudah berjalan 71 tahun ini.
Dengan berbagai latar belakang, ada Cut dan Teuku dari Aceh, ada Joko dari Jawa, ada Andi dari Sulawesi, ada Togar dari Medan, ada Ketut dari Bali, para pemimpi negara Indonesia ini mengesampingkan tujuan pribadi dan kelompok mereka. Beda bahasa, beda adat, bahkan beda kebiasaan menjadi cerita tersendiri yang menjadi bumbu kemerdekaan. Pada kenyataannya, latar belakang bukan menjadi masalah, karena para pejuang ini tetap bisa bekerjasama mengusir penjajah.
Setelah bersusah payah memukul mundur penjajah, hanya beberapa pejuang saja yang diberi gelar pahlawan. Sisanya cukup puas dengan dimakamkan di taman makam pahlawan. Mereka belum sempat menikmati film pejuangan mereka yang diputar di stasiun TV dan bioskop yang bertebaran di mal-mal di penjuru tanah air.
Tidak hanya di situ, bahasa Ibu yang mereka cintai pun tidak diakui sebagai bahasa nasional. Undang-Undang 1945 Pasal 36 menyebutkan, “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Bukan bahasa Sunda, Jawa, Madura, Bone, Batak, atau bahkan Lampung.
Tapi perjuangan itu memang butuh pengorbanan. Dengan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maka persatuan dan kesatuan di Bumi Pertiwi terjaga sampai saat ini. Seperti terucap pada sumpah pemuda poin ketiga yang berbunyi, “kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Dengan penunjukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maka komunikasi antar warga tidak memiliki kecanggungan. Juga tidak ada bahasa yang berhak mengklaim sebagai pemilik sah negeri ini. Seperti suku Jawa yang memiliki populasi hampir 40 persen dari penduduk Indonesia, mereka memiliki kedudukan yang sama dengan suku Lampung yang penutur aslinya tidak sampai setengah dari warga di Lampung. Itulah kekuatan bahasa. Bahkan ada yang pernah menyebut bahasa menunjukkan bangsa. Jika bahasa kita diinjak-injak, berarti bangsa kita juga merasakan sakit.
Jerih payah dari para pahlawan dari berbagai etnis tadilah yang membuat kita, anak muda zaman sekarang, bisa dengan bebas mengakses internet dan bermain media sosial. Juga bisa bebas ke sana kemari tanpa takut ditembak dari gedung-gedung tinggi. Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus untuk tetap memikul jiwa dan semangat dari para pendahulu untuk tetap bersatu, yang paling mudah tentu saja dengan menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari di ruang publik.
Kita tahu, sejak bergabung menjadi anggota PBB, maka Indonesia adalah warga dunia. Dengan begitu, bahasa yang digunakan pun bahasa dunia, dengan catatan itu kalau kita bertemu warga dunia. Jika kita bertemu teman, atau saudara di ruang-ruang publik, gunakanlah bahasa Indonesia yang memang sewajarnya kita pakai. Kita tidak muluk-muluk sampai menginginkan warga dunia yang datang ke Indonesia bisa berbahasa Indonesia, setidaknya kita dulu yang menggunakan bahasa tersebut di kalangan kita sendiri.
Malaysia dengan bahasa Melayunya membuktikan, kekaguman dan penggunaan bahasa asing di negeri sendiri, lambat laun akan mengurangi kebanggaan terhadap bahasa ibu mereka. Akibatnya, jika kita bersafari ke Negeri Serumpun tersebut, kita lebih sering menyaksikan muda mudi mereka yang berbicara menggunakan bahasa inggris. Semoga kita tidak seperti itu. Mari menjadi warga yang bangga dengan bahasa Indonesia dan mari pergunakan bahasa Indonesia di ruang publik. Jangan sampai kita menjadi versi kedua dari Malaysia alias Malaysia
Sumber : https://student.cnnindonesia.com
No comments: