Mereka Hidup dari Kobra
Para pemburu mengambil risiko besar saat menangkap ular berbisa. Penghasilannya tak seberapa.
ILC, Bagi Nirwan, kobra bukanlah ‘lawan’ yang mesti ditakuti. Hanya sebilah bambu sepanjang setengah meter, senter, serta selembar karung goni yang jadi senjata andalan Nirwan untuk mencari dan menangkap kobra di desanya, Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah.
Biasanya pria berusia 39 tahun tersebut mulai mencari ular selepas azan magrib dan pulang selepas isya di sepanjang sungai yang melintas di desanya. Bertahun-tahun jadi pemburu ular, Nirwan hafal betul dengan kebiasaan binatang melata itu.
Menurut Nirwan, ular biasanya keluar dari lubang sekitar pukul 18.00 WIB dan masuk lagi ke lubang sekitar isya. “Mereka hanya keluar satu jam untuk mencari udara hangat. Kalau suhunya terlalu dingin, ular akan masuk lagi ke sarangnya,” Nirwan menuturkan saat ditemui di rumahnya, Rabu, 20 Desember 2017.
Ular-ular itu tak hanya keluar dari sarang menjelang gelap. Pada siang hari, mereka biasa beredar pukul 11.00-12.00 WIB. Nirwan hafal betul di mana letak binatang melata itu berada, yakni di sekitar sungai.
Secara geografis, Desa Karangnangka diapit dua sungai, yaitu Sungai Banjaran di sebelah timur desa yang berbatasan dengan Desa Kebumen, Kecamatan Baturraden. Di sisi barat desa ada Sungai Jengok, yang menjadi pembatas desa itu dengan Desa Keniten. “Kobra biasanya ditemukan di susukan, daerah pertemuan dua sungai,” ujar Nirwan.
Selain di sepanjang sungai, Nirwan memburu kobra di persawahan. Waktu yang paling pas mencari kobra adalah saat padi mulai menguning. Saat itu kondisi tanah sedang kering. Sebab, jika tanah basah, kobra tidak akan keluar dari lubang. Demikian pula saat puncak musim hujan, kobra enggan meninggalkan sarang.
Di daerahnya, kata Nirwan, hanya ada dua jenis kobra. Selama malang melintang mencari kobra, Nirwan mengaku belum pernah mendapatkan ular jenis king cobra. “Di sini adanya kobra Jawa dan kobra sawah. Kalau king cobra yang banyak di daerah Ciamis, Jawa Barat,” ujar Nirwan. Perbedaan jenis kobra Jawa dan king cobra adalah ukuran serta warnanya. Kobra Jawa ukurannya kecil dan warna agak kecokelatan. Sedangkan king cobra ukurannya lebih besar dan panjang serta warnanya hitam. “Teman saya pernah dapat king cobra di Ciamis. Panjangnya 2 meter dan besarnya selengan orang dewasa.”
Bagi Nirwan, menangkap binatang berbisa ini bukan hal yang sulit-sulit amat. Langkah awal, kata Nirwan, ekor kobra dipegang supaya tidak lari. Begitu kepala kobra mendongak, segera ditekan pakai bambu. “Setelah dipegang ekornya, kobra pasti akan berdiri. Kalau bisa, dengan cara halus kita tekan kepalanya. Kalau tidak bisa, dipukul supaya kepalanya pusing sehingga mudah dimasukkan ke dalam karung,” ujar Nirwan.
Meski sudah jago, namanya berurusan dengan binatang berbisa, Nirwan tetap harus waspada. Saat ditangkap, ular kobra Jawa biasanya akan menyemburkan bisa dan mematok, sementara king cobra biasanya langsung mematok. Semburan bisa kobra biasanya menyasar ke arah mata. Jika terkena semburan kobra, Nirwan menyarankan, segera basuh dengan air hangat. Jika tidak, mata yang terkena semburan kobra akan terus mengeluarkan air mata dan terasa perih jika mata dikucek.
Saat diekspor ke China, satu ekor kobra bisa dihargai Rp 100 ribuan. Tapi pemburu ular seperti Nirwan, orang yang mengambil risiko terbesar, justru menikmati bagian paling kecil dalam rantai perdagangan ular. Satu ekor ular kobra yang dia tangkap hanya dibayar Rp 10 ribu oleh para pengepul di Banyumas. Dia akan mendapat uang lebih besar jika mendapat ular kadut (ular sawah), yakni Rp 30 ribu per ekor. Padahal ular ini tak berbisa. Dalam sehari, Nirwan mengaku biasanya hanya mendapat tiga atau empat ekor ular.
Sementara Nirwan mesti berkeliaran di sungai dan sawah memburu ular, lain cerita Riswoto, 45 tahun. Di daerahnya, dia termasuk penyalur ular yang tergolong besar. Riswoto tidak perlu blusukan mencari kobra dan ular jenis lainnya ke pinggiran sungai atau pematang sawah. Sebab, dia memiliki penangkaran ular di rumahnya di Desa Karangpucung, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sehingga stok ular yang dimiliki tidak terpengaruh cuaca atau musim.
Usaha penangkaran Riswoto sudah berjalan 26 tahun dengan bendera UD Indonesia Fauna dan memiliki enam karyawan. Di rumahnya, saat menyambangi, ada sekitar 100 ekor kobra yang dilepas di ruangan berukuran 3x4 meter. Kobra-kobra itu masih liar.
Di tempat itu, kobra dibiarkan berkembang biak. Saat ada kobra yang bertelur, anak buah Riswoto langsung mengambilnya dan menetaskannya secara manual dengan media merang atau ampas gergaji. Proses penetasan telur kobra memakan waktu 60-70 hari dengan tingkat keberhasilan 70 persen jika dengan cara manual dan sekitar 90 persen jika menggunakan inkubator.
Sekali bertelur, menurut Riswoto, king cobra menghasilkan 5-20 butir. Dari 20 telur, biasanya yang berhasil menetas 15-16 telur. Setelah menetas, ular-ular tersebut diberi ‘akta lahir’ dengan mencatat tanggal dan jam kelahirannya. Dan catatan itu akan disisipkan saat pengiriman ke konsumen jika ular tersebut sudah besar.
Sebagai pedagang besar yang patuh, Riswoto selalu menyertakan surat angkut tumbuhan-satwa liar dalam negeri dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah setiap kali hendak mengirim ular kepada pelanggannya. “Apalagi kalau jadi, nanti pada 2018 penjualan hewan, seperti cicak, kadal, kodok, ular, masuk ke Dinas Kehutanan dan akan dikenai retribusi per ekor,” ujar Riswoto.
Untuk mencari indukan ular, Riswoto meminta bantuan para pemburu ular dari daerah Banyumas, Cilacap, Majenang, Tasikmalaya, Ciamis, Purwokerto, hingga Purbalingga. Biasanya, dalam sebulan Riswoto bisa mengirim tiga kali ke Jakarta dan Bandung. Masing-masing pengiriman berkapasitas 500 ekor, yang dihargai Rp 25 ribu per ekor.
Untuk pengiriman kobra, Riswoto selalu menggunakan jasa bus malam. Sebab, kobra tidak tahan suhu panas. Pernah dia mengirim kobra dengan bus pada siang hari. Hasilnya, sebagian besar ular itu mati. “Saya memasok ke gudang di Cibitung. Baru dari Cibitung, ular-ular itu disebar ke restoran-restoran di Jakarta,” kata Riswoto. Selain ular, Riswoto menjual tokek, kodok, dan bulus. Hewan-hewan ini biasanya untuk pemesan dari wilayah Surabaya dan mancanegara.
Sumber : https://x.detik.com/
No comments: